Bagian 1.
Tinggi badanya tidak jauh berbeda dari tinggi badanku, badanya tidak terlalu kurus dan tidak terlalu gemuk, proporsional. Tapi, jika dilihat dari atas ke bawah ada sesuatu yang ganjil. Sepertinya, ukuran kepalanya terlalu besar. Astaghfirullahaladzim, apa yang Aku pikirkan.
Baju terusan hijau bunga-bunga menyelimuti dirinya hingga kaki. Meski ini acara pengajian, dia tidak memakai jilbab, sehingga aku bisa melihat rambutnya yang pendek. Ketika dia berbalik, aku mencoba tersenyum dan menyapanya. “Hai, namanya siapa?” tidak ada jawaban yang aku terima. Aku tercekat, seakan dunia berhenti, karena yang Aku lihat dari wajah gadis itu adalah ekspresi ketakutan. Aku mencoba untuk menguatkan diri dan mengulangi pertanyaanku. Tapi dia semakin ketakutan dan mencengkram lengan ibunya erat-erat. Aku welirik wanita tua yang ada disampingnya, guratan di wajahnya sudah mulai terlihat, mungkin umurnya sekitar 50 tahunan. Pembawaanya tenang, namun tatapan matanya menyiratkan kalau wanita tua ini mengalami hidup yang berat. “Ayo, kasih salam sama Kakak!” perintah wanita tua itu kepada anaknya. Alih-alih menyapaku dia semakin menampakan ekspresi ketakutan dan mau menangis. “Saya duluan mba…” sapa wanita itu. Wanita itu menuntunya dan menggendongnya dengan tertatih-tatih. Bagaimana mungkin tidak tertatih-tatih, wanita itu lebih kecil dari pada yang digendong. Aku masih berdiri di tempat itu, tidak bergerak satu langkah pun sampai kedua orang itu menghilang dari pandanganku. “Anak bego itu mba…” Tukas seseorang yang tiba-tiba muncul dari belakang dan kemudian menghilang dari pandangan. Hujan semakin deras, lalu lalang orang yang keluar dari mushala melewatiku satu per satu. Beberapa orang melirikku yang masih berdiri di tempat tadi. Hatiku sakit, Aku bingung dan Aku ingin marah jika teringat omongan tadi “Anak bego itu mba…”
Sekarang, hanya Aku sendiri, teman-temanku sudah pergi sebelum hujan tadi. Aku berjalan perlahan meninggalkan Mushala yang membisu. Perlahan air mata ini mengalir dan larut bersama derasnya hujan. Aku tidak peduli dengan hujan, seluruh bajuku basah. Tapi aku sama sekali tidak merasa kedinginan bahkan aku tidak merasakan hujan.
Langit di atas semakin hitam, hujan semakin deras dan Guntur berahut-sahutan. Apakah alam ini mengetahui apa yang aku rasakan sekarang? Ekspresi gadis di Mushala tadi tidak pernah lepas dari bayanganku sedetik pun. Semakin mengigatnya semakin Aku merasa bersalah kepada Tuhan, ya karena ribuan pertanyaan dan kritikan selalu berputar di kepalahu. Kenapa Tuhan menciptakan gadis itu? Kenapa bukan orang kota saja yang mempunyai anak seperti itu? kenapa bukan orang kaya saja yang mempunyai anak seperti itu? Untuk apa Tuhan menciptakan anak seperti itu?
Bersambung…..
Baju terusan hijau bunga-bunga menyelimuti dirinya hingga kaki. Meski ini acara pengajian, dia tidak memakai jilbab, sehingga aku bisa melihat rambutnya yang pendek. Ketika dia berbalik, aku mencoba tersenyum dan menyapanya. “Hai, namanya siapa?” tidak ada jawaban yang aku terima. Aku tercekat, seakan dunia berhenti, karena yang Aku lihat dari wajah gadis itu adalah ekspresi ketakutan. Aku mencoba untuk menguatkan diri dan mengulangi pertanyaanku. Tapi dia semakin ketakutan dan mencengkram lengan ibunya erat-erat. Aku welirik wanita tua yang ada disampingnya, guratan di wajahnya sudah mulai terlihat, mungkin umurnya sekitar 50 tahunan. Pembawaanya tenang, namun tatapan matanya menyiratkan kalau wanita tua ini mengalami hidup yang berat. “Ayo, kasih salam sama Kakak!” perintah wanita tua itu kepada anaknya. Alih-alih menyapaku dia semakin menampakan ekspresi ketakutan dan mau menangis. “Saya duluan mba…” sapa wanita itu. Wanita itu menuntunya dan menggendongnya dengan tertatih-tatih. Bagaimana mungkin tidak tertatih-tatih, wanita itu lebih kecil dari pada yang digendong. Aku masih berdiri di tempat itu, tidak bergerak satu langkah pun sampai kedua orang itu menghilang dari pandanganku. “Anak bego itu mba…” Tukas seseorang yang tiba-tiba muncul dari belakang dan kemudian menghilang dari pandangan. Hujan semakin deras, lalu lalang orang yang keluar dari mushala melewatiku satu per satu. Beberapa orang melirikku yang masih berdiri di tempat tadi. Hatiku sakit, Aku bingung dan Aku ingin marah jika teringat omongan tadi “Anak bego itu mba…”
Sekarang, hanya Aku sendiri, teman-temanku sudah pergi sebelum hujan tadi. Aku berjalan perlahan meninggalkan Mushala yang membisu. Perlahan air mata ini mengalir dan larut bersama derasnya hujan. Aku tidak peduli dengan hujan, seluruh bajuku basah. Tapi aku sama sekali tidak merasa kedinginan bahkan aku tidak merasakan hujan.
Langit di atas semakin hitam, hujan semakin deras dan Guntur berahut-sahutan. Apakah alam ini mengetahui apa yang aku rasakan sekarang? Ekspresi gadis di Mushala tadi tidak pernah lepas dari bayanganku sedetik pun. Semakin mengigatnya semakin Aku merasa bersalah kepada Tuhan, ya karena ribuan pertanyaan dan kritikan selalu berputar di kepalahu. Kenapa Tuhan menciptakan gadis itu? Kenapa bukan orang kota saja yang mempunyai anak seperti itu? kenapa bukan orang kaya saja yang mempunyai anak seperti itu? Untuk apa Tuhan menciptakan anak seperti itu?
Bersambung…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar