Hujan

Suara petir bersahut-sahutan. Sore ini hujan deras, hampir seluruh ruangan gelap karena lampu mati. Hanya sedikit cahaya yang masuk dari luar. Sehingga, Beberapa teman kos memilih untuk duduk-duduk di dekat pintu dan membiarkan pintunya terbuka. Hanya aku yang berada di kamar. Entah mengapa saat ini aku ingin sendiri. Dalam gelapnya kamar aku merasa sangat nyaman. Semua ini tidak lain dan tidak bukan karena “Hujan”. Setiap kali hujan turun aku selalu tersenyum pada diri sendiri.
Seandainya aku bisa mengatur waktu, Aku ingin kembali di hari-hari itu. Ketika masih memakai rok merah dan baju putih. Semua teman-teman selalu mengeluh ketika hujan turun. Berbeda dengan aku yang selalu tersenyum dan bahagia ketika hujan turun. Karena setelah pulang sekolah, aku akan melihat Ibuku sudah menunggu di depan sekolah, dan membawa payung kecilku. “Besok jangan lupa bawa payung ke Sekolah, lagi musim hujan” perintah ibu sambil menyerahkan payung kecilku. Aku hanya tersenyum dan tidak pernah mematuhi perintahnya, Karena aku selalu ingin pulang sekolah bersamanya. Meski, sesekali Ibu memarahiku di sepanjang jalan karena aku bermain air. Namun, semua itu tidak berjalan sesuai dengan keinginanku. Aku tidak tahu persis kapan Ibu tidak pernah datang lagi menjemput ke Sekolah ketika hujan turun. Dan aku sering pulang dalam keadaan basah kuyup.
Langit semakin gelap dan hujan semakin deras. Aku juga merasakan hujan di kedua bola mataku. Aku mengenang masa-masa laluku ketika masih menginjak bangku sekolah. Baju putih, rok biru dan abu-abu Di tempat seperti inilah dulu aku berada, my room is my home, ruangan kecil berukuran 3 x 4 m. Terkadang aku bingung sendiri, bagaimana bisa aku betah berada di ruangan ini berjam-jam tanpa fasilitas apa pun. Tapi, bagiku ruangan ini jauh lebih baik dari pada rumah yang sepi dan dingin, tidak ada komunikasi dan canda tawa. Ya, aku benci melihat tembok-tembok tinggi itu yang dingin dan angkuh. Aku benci setiap sudut ruangan yang membisu. Aku benci dengan penghuni rumah itu yang seperti mayat hidup. Aku lelah mengucapkan salam, karena tidak ada yang membalas salamku di rumah. Aku ingin lari dan lari sejauh-jauhnya. Tapi itu dulu kawan…
***
Hujan sudah berhenti, dan tiba-tiba yang ada hanya gelap. Samar-samar aku melihat anak kecil menelusuri jalan setapak yang gelap tanpa lampu penerangan. Hanya cahaya bulan yang menyinari. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak ada seorang pun, hanya ada bayanganya yang setia mengikuti. Dia berjalan lebih cepat, mungkin dia merasa ketakutan. Dia berlari memasuki rumah. Rumah yang tidak asing bagiku. Ekspresi wajahnya semakin muram. Sepi, tidak ada seorang pun di rumah. Tiba-tiba aku merasa takut, gadis kecil itu menghilang. Tinggal Aku sendiri di rumah ini. Aku merasa takut sendiri di rumah ini sampai mati. “Ingin sekali hidup jauh dari sini, mencari tempat yang luas, tempat yang damai. Baik-baik di sini”. Suara ibu berputar-putar di telingaku. Aku ingin marah dan menangis. Tapi, aku tidak bisa.
“Lena, Len … kamu baik-baik saja? Kenapa? Kamu sakit?” Aku merasa ada seseorang yang membelaiku lembut dari belakang. “Len, kamu tidak apa-apa?” Suara Hikki membangunkanku.
“Kamu mimpi buruk?” Tanya Hikki dengan cemas melihat pipiku sudah basah dengan air mata. Mimpi? “Hem mimpi, cuman mimpi”. Tukas aku dengan senyum tipis.
“Masih jam 02.00 pagi, mau kemana?” Tanya Hikki Semakin bingung dan cemas. “Shalat”. Pukul 02. 20 pagi. “Sudah baikan?” Tanya Hikki yang juga baru selesai shalat di sampingku. “Tidur lagi saja” Tapi, Hikki sudah merasa usahanya sia-sia untuk membujukku. “Ya, ya, selamat belajar.” Hikki tahu kalau aku lebih memilih membuka buku dari pada tidur. “Ibu?” Aku menunjuk pada sebuah buku kecil, dengan cover seorang muslimah baya sedang berdo’a. “Apa? Ibu?” Tanya Hikki Bingung. “Oh, the great power of mother karya Solikhin Abu Izzuddin & Dewi Astuti” Tukas Hikki sambil menyerahkan buku itu. “Sudah membaca buku itu kan?” ”Belum”. Jawabku singkat. “Apa? Belum baca?” Timpal Hikki. “Belum selesai baca untuk yang ke empat kalinya”. Hikki tidak percaya mendengar perkataanku tadi. “Empat kali? Wow, amazing… kelihatanya Kamu sangat menikmati buku itu. So do I, hehe … Kitalah yang mendesain kebahagiaan kita. Cara kita mengekspresikan menentukan bagaimana kita menikmati keadaan. Coba buka page 99. Aku paling suka bagian itu”. Aku tersenyum mendengar penjelasan Hikki sambil sibuk membolak balik buku dan mulai menekan power notebook.
“Lepas dulu mukenanya kalau mau tidur”. Hikki diam dan tidak menghiraukan perintahku. “Aku ga tidur, cuma berbaring sebentar di kasur” jawab Hikki malas. “Oya Len, aku gagal IELSP untuk yang kedua kalinya tahun ini”. Tukas Hikki lirih, Aku merasa bersalah sebagai teman satu kamarnya, tidak pernah menanyakan kabar beasiswanya. “Mungkin belum waktunya aku ke Amerika tahun ini, atau niatku yang belum lurus, atau aku harus belajar banyak hal sebelum berangkat ke sana, atau aku harus ke North Island dulu sebelum ke USA, atau…” Hikki bicara pada dirinya sendiri. “Atau kamu harus belajar menikmati keadaan, dan merajut kebahagiaanmu sendiri?” Tukas aku meyakinkan. ”So desu (that is right). Ayo merajut mimpi dan kebahagiaan. Selamat dating IELSP Batch 9 tahun depan Haha!” Hikki berdiri di kasur dan berpidato seperti Ir. Sukarno dengan kostum mukena dan memegang tempat pensil sebagai microphone.
Aku hanya tersenyum geli melihat tingkahnya yang berlebihan. “Apa yang kamu ketik Len? Serius banget” Tanya Hikki penasaran. “a special letter for special people” Jawabku singkat sambil tetap menatap layar note book.
Pagi itu dua anak manusia sibuk dengan pikiranya masing-masing. Hikki sibuk dengan rangkaian mimpi-mimpinya. Dan aku sibuk menulis, sementara pikiranku jauh melayang ke rumah itu.
Dear friend,
Sometimes I wonder …
How many people as special as mine ….
Adakah orang di dunia ini yang merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan?
Apakah kau mengerti dengan rasa sakit ini? Apakah kau mengerti akan kesunyian ini?
Apa kau merasa menjadi orang paling menyedihkan di dunia ini?
Kesepian, kesedihan, ansietas, kecemasan, tekanan apa pun itu namanya…
Apakah Kau merasa sendiri? Sendiri, sendiri, sendiri, sendiri dan sendiri
Apakah kau tahu bagaimanan rasanya tidak punya orang tua dan saudara? Mungkin kau akan merasa bahwa rumahmu seperti kuburan … sepi, dingin,
Atau kau merasa marah karena mempunyai orang tua yang kurang perhatian?
Atau kau pernah merasa tidak dipedulikan karena orang tuamu hanya memikirkan saudara kandungmu?
Ya, apakah kau marah karena merasa orang tuamu sudah tidak memikirkan kau lagi?
Apakah kau merasa sedih, karena ketika kau pulang tidak ada satu orang pun yang menyambutmu di rumah?
Apakah kau merasa kesepian dan kesunyian karena tidak ada satu orang pun yang bisa diajak berbicara di rumah?
Apakah kau merasa bahwa kamarmu yang berukuran 2x3 meter adalah rumah aslimu? Bukan ruangan yang yang ada perabot televise, ruang makan, ruang tengah yang berukuran luas, dan ruangan lain sebagai rumahmu?
Apakah Kamu merasa bahwa kamar Kamu adalah surga dan neraka sementara?
Surga karena kau bisa melakukan apa pun disini, tempat ya g pertama kali kau tuju ketika dirumah dan teman setia yang menyaksikanmu menangis, terlelap, dan tersenyum dalam mimpi? Atau seperti penjara yang selalu mengurungmu dari pagi hingga pagi lagi, hanya roomspace-prayerroom-bathroom-roomspace lagi….tidak ada transit ke ruang keluarga untuk sekedar bertegur sapa kepada keluarga, karena kau tidak akan menemukan kehangatan keluarga disana… yang kau lihat hanyalah tetesan air mata, jeritan, raungan, dan kebisuan …
Mungkin kau akan memlilih untuk berbicara dengan dinding-dinding kamarmu yang dingin …memandangi langit-langit dan kau akan terbawa kembali ke masa lalu, masa lalu beberapa tahun yang lalu ketika semuanya belum berubah
Atau, Kau merasakan lebih dari itu? ansietas, ansietas, ansietas, ansietas dan ansietas
Pernahkah kau merasakan sangat ketakutan? Takut karena akan ditinggal oleh seseorang yang kau sayangi? Dan kau tidak mampu untuk melakukan apa-apa, tidak mampu untuk mengatakan apa-apa, hanya menunggu dan menunggu, berharap bahwa mimpi buruk itu tidak akan terjadi. Terkadang, ada rasa marah. Tapi, kau hanya diam dan hanya menekanya dalam-dalam. Tidak tau mesti marah kepada siapa… … karena mimpi buruk itu telah datang, dan kau takut bahwa mimpi itu akan menjadi kenyataan, dan kau memilih untuk diam dan diam …
Pernahkah kau merasa sangat prihatin terhadap kondisi orang tuamu? Lantas, apa yang Kamu lakukan? Apakah kau hanya diam?
Apakah kau terganggu akan ketegangan mental//jiwa/ tekana kesulitan/kesedihan orang tuamu?
Pernahkah kau terbangun dimalam hari karena mimpi buruk? Mimpi buruk akan diitnggal oleh orang tua dan saudara? Apakah kau akan hidup tenang ketika mimpi buruk itu selalu datang setiap hari?
Pernahkah kau terbangun dimalam hari dan melihat orang tua mu belum memejamkan mata? Dan ketika Kamu terbangun lagi 2 atau 3 jam berikutnya kau masih melihat bahwa orang tuamu belum bisa memejamkan mata?
Insomnia, ya insomnia yang teramat sangat. Bisakah kau bayangkan? Menanti detik demi detik, menunggu pagi … sepi, hanya jam dinding yang berdetik yang menemani … dan dinginya malam yang menusuk tulang … dan itu terjadi pada orang yang Kamu sayangi
Atau, Kau merasakan lebih dari itu? tertekan, tertekan, tertekan, tertekan dan tertekan
Apakah kau merasa tertekan? Tertekan karena teman sebaya. Karena kau tidak seperti mereka, yang berada pada lingkungan keluarga yang bahagia?
Apakah kau iri dengan saudara kandungmu karena orangtuamu lebih meluangkan waktunya dan lebih perhatian padanya?
Whoever you are, seperti apa pun kondisi keluargamu. Keep Fight and smile since God trust you that you can pass this special path. Ingatlah bahwa kitalah yang mendesain kebahagiaan kita. Cara kita mengekspresikan menentukan bagaimana kita menikmati keadaan. Jangan lagi mengeluh dihadapan orangtua, tapi ungkapkan bahagiamu untuk mencapai ridhanya. Dekati mereka, dan jangan pernah menyalahkan mereka yang tak dapat mengekspresikan cinta karena sesungguhnya pengorbanan dan tanggung jawabnya lebih bernilai dibandingkan apa pun.
Teman, cermati lagi tulisan ini “Engkau bisa membayangkan, bagaimana keadaan keluarga jika pulang ke rumah dengan wajah muram, berduka, mengeluh, dan berkata penuh kesedihan, “Aku telah dizalimi, karena aku hanya berhasil meraih predikat “baik.” Lalu duduk bersedih. Orang tuanya pun akan sedih. Bisa jadi malah marah-marah (Solikhin Abu Izadi , halaman 99). Bisa dibayangkan? Well, berhentilah membaca sejenak dan RENUNGKAN!
Least but not least, aku sarankan teman-teman membaca buku ini (Great Power of Mother). Bukan promosi, tapi ini memang fakta pengalaman pribadi. Semoga tulisan ini bermanfaat. Sampai jumpa dilain kesempatan
Salam,
Lena.
Finish, akhirnya selesai juga. Aku membuka blogspot, website, facebook, dan meng-upload surat tadi. semoga tulisan ini memberikan energy untukku dan orang lain. Langit di luar masih gelap,
“Pulang? Pagi ini? Bukanya ada ujian Astrofisika hari ini?“ Tanya Hikki kaget. “Ujian diganti hari rabu besok”. “Berarti pulang satu hari? “Ya, Aku mau minta restu sama ibu untuk acara International Workcamp Pekan depan”. Jawabku tenang. “Jangan lupa bawa payung. Hari ini langit gelap sepertinya mau turun hujan. Dari terminal masih jalan kaki ke rumahmu kan?” “Ya”. Aku mengikuti saran Hikki untuk membawa payung dan semoga nanti hujan terus di sepanjang perjalanan.
Seperti yang Aku inginkan, tetesan air hujan mengalir melewati jendela bis yang aku tumpangi. Bahkan, air hujan menetes di dalam bis. “Maaf mbak, ini lapnya” Kondektur bis menyerahkan lap kucel untuk melindungiku dari atap bis yang bocor. Maklum, aku naik bis ekonomi. Dan aku sudah terbiasa karena bukan yang pertama kalinya aku kehujanan di dalam bis. Bagiku kehujanan di dalam bis lebih menarik dari pada harus berdiri di jalan dan menunggu bis lain lewat karena bis yang aku tumpangi mogok di tengah jalan. Aku tersenyum sendiri. Inilah my beloved country. Paling tidak bis ini lisensi Indonesia, bukan bis second dari jepang. Ah memang ada bis second dari jepang?
***
Sore itu setiba di rumah aku mengajak ibu pergi ke padang rumput. Membicarakan banyak hal, memandang birunya langit, menikmati semilir angin pegunungan. Sejauh mata memandang hanya hijau. Suara kambing yang mengembik menjadi alunan musik di sore itu. “Seperti di New Zealand, bedanya di New Zealand pasti lebih luas dari pada di sini?” Ibu hanya terenyum mendengarkan ocehanku “Ingin pergi ke New Zealand?” Tanya ibuku tenang. “Kalau memang New Zealand seperti di sini, tidak perlu pergi”. Aku terdiam dan mengerti arah pembicaraan ibu. “Pendidikan di sana bagus terlebih banyak hal unik di sana”. Aku mencoba mencairkan suasana. “Aku ingin menelusuri dalamnya Waitomo Glow Worm cave di North Island, mendaki tingginya Himalaya di Tibet, Menelusuri Havard University di Amerika, Menjejaki tembok besar Cina, mencari pengalaman yang menantang dan menegangkan”. Aku tunggu tidak ada jawaban. Tapi, Aku melihat matanya berkaca-kaca. “Tapi, kalau ibu ingin aku di …”. “Pergilah mengejar mimpi-mimpimu, hiduplah dengan bahagia” Tiba-tiba ibu memotong pembicaraanku. “Lakukan yang terbaik dalam International Workcamp besok”. Aku hanya tersenyum mendengar apa yang disampaikan Ibu tadi. “Aku sarankan kamu terbuka sama orang tua, sampaikan apa yang kamu inginkan meski nantinya kamu tidak disetujui. Minta saran juga sama seseorang yang dewasa yang kamu percayai. Ingat segala sesuatu ada waktunya”. Aku membuka hp dan menekan inbox sms. Sms dari seseorang yang aku simpan sejak empat tahun yang lalu. Seseorang yang berarti, seseorang yang sekarang terpisahkan ruang dan waktu. Yeah, my beloved friend. Do’a ku selalu menyertaimu seperti do’a ibuku terhadapku.
***
Sore itu tidak hujan, tapi aku merasa sangat senang seperti terjebak dalam hujan dan melihat ibu datang membawakan payung kecilku. Dan sekarang, wanita itu membawakan do’a-do’anya untukku. Matahari sore pulang ke peraduanya. Dan nanti aku pun akan pulang membawa senyuman. Terima kasih ibu.
Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html