Sabtu, 25 September 2010

cerpen-KETIKA WAKTU DICUKUPKAN

Mengenang---My Beloved grandma---
KETIKA WAKTU DICUKUPKAN
19. 57 malam…
Q terpaku mendengar suara mobileku berdering…
Siapa yang menelponku? Tidak biasanya … yang aku tau tidak ada yang pernah menelponku meski hanya sekedar menanyakan kabar, meski aku masih mempunyai keluarga … Bukan berarti mereka tidak peduli padaku tapi karena tidak ada alat komunikasi. Mengherankan bukan? Bukan karena keluargaku hidup di ruang dan waktu yang berbeda dengan zaman yang serba teknologi seperti saat ini, tapi karena kampung halamanku yang tidak bisa dijangkau dengan apa yang namanya alat komunikasi yang disebut telepon. Pelosok sekali bukan? dan orang tuaku? Mereka tidak punya cukup waktu untuk menjangkau kantor pos terdekat untuk sekedar mengirim surat, ah… aku rasa itu hanya alasan. Lebih tepatnya, mungkin karena mereka merasa bahwa kau mandiri dan dewasa, atau mereka sudah cukup pusing dan sibuk dengan kegiatan mencari uang untuk menyambung hidup. Ah sudahlah … tidak perlu panjang lebar, tentang bagaimana aku bisakuliah, hidup di tempat yang jauh dari orang tua bukan hal yang ingin aku ceritakan sekarang.
“Assalamu’alaikum, nduk… ojo kaget… maaf keluarga baru ngasih tau, pakde Amar juga baru tau kalau eyang putri sakit dari pekan kemarin, diberitahu bapakmu kemarin siang. Sekarang kondisi eyang putri kritis…,hari ini pulang ya… pakde yang mau njemput”
“kritis?!!!” aku kaget mendengar berita itu…
Benarkah? Sudah sebegitu parahkah?...
“kosnya dimana to nduk?”
Terdengar lucu memang, tidak ada satu pun keluargaku yang mengetahui alamat kosku, karena aku yang mengurus segala keperluan kuliah seorang diri, meski aku punya pakde Amar yang cukup berada, berpendidikan dan mungkin bisa mengantarku untuk mengurus keperluan kuliah. Aku memilih untuk berangkat sendiri, “Selagi bisa dilakuan sendiri, aku akan melakukanya seorang diri” mungkin ini sudah menjadi motto hidupku, karena dari dulu aku selalu memutuskan segala sesuatu sendiri dan mengurus segala sesuatu seorang diri.
“Kose.. @#^%$^7%@#8!@456^%#.... “ jawabku tidak jelas
“Nggih…”
“Nggih …”
“Nggih …”
Hanya jawaban itu yang bisa aku ucapkan…
Aku masih belum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi… Apakah ajalnya sudah dekat, astaghfirullahaladzim… aku mencoba menjauhkan pikiran-pikiran buruk itu. Aku hanya terdiam, berdiri terpaku. Takut…rasa takut selalu menghantuiku… dadaku sesak…menahan tetesan air mata, menahan tangisku yang mau pecah… Aku berharap ini hanya sebuah mimpi… dan ketika aku bangun besok… semuanya tinggal kenangan yang tak perlu aku simpan,
19.57 malam. Sekitar 3 jam lagi mungkin aku akan pulang. Aku akan mencium tanganya, memeluknya erat, menemaninya dan mendo’akan kesembuhanya. Ya Allah, aku sama sekali tidak tenang, pikiranku kacau, aku takut hal buruk akan terjadi… airmata menetes tak tertahan dari pelupuk mataku, aku tidak tau apa yang aku tangisi, karena aku memang tidak tau dengan pasti apa yang sedang terjadi. Tapi, aku harus berpikir secara realisitis… aku harus menyelesaikan semua urusanku disini terlebih dahulu sebelum aku pulang… mungkin aku punya sekitar 3 jam sebelum aku pulang. Pertama, aku harus membereskan barang-barangku, kedua cucianku yang menumpuk, dan tentu saja ketiga aku akan menghabiskan waktu untuk shalat dan berdoa memohon akan kesembuhanya…dan tentunya harapan agar aku masih punya kesempatan untuk menemuinya…
Waktu seakan berjalan sangat lambat. Aku lelah dan sangat lelah. Ingin aku memejamkan mata barang sejenak, tapi aku takut, takut kalau aku tidak akan bangun ketika mobil jemputan sudah dating.
22.12 malam, aku sangat lelah dan akhirnya tanpa disadari mata ini pun terlelap.
00.06 pagi. Aku terkejut mendengar bunyi ringtone handphoneku, sejurus aku langsung menemui mobil jemputan yang sudah terparkir dihalaman kos depan. Sepi, dingin, gelap. Tidak ada satu patah kata pun yang aku lontarkan, “Pulang sekarang ya” tukas pak de Amar.
00.20 pagi, kami menembus di tengah-tengah kota yang mati, sepi hanya hembusan angin yang berbicara ditemani satu dua bintang menggantung di langit dan lampu-lampu jalanan yang berlarian menyinari kami… tidak ada kata-kata yang terucap antara aku, pak de Amar, dan tiga orang yang duduk di mobil bagian belakang yang tidak aku kenal, banyak pertanyaan yang muncul dikepalaku, kenapa yang menjemputku keluarga jauh? Dimana gerangan orang tuaku??? Ah… ingin rasanya aku memejamkan mata dan berharap bahwa aku sedang bermimpi, menghindar dari kemungkina-kemungkinan yang terjadi… tapi, mata ini tidak bisa terpejam,
Angin malam semakin menusuk ronga-ronga tulang, aku mencoba bertahan ditengah dinginya malam, Mobil terus melaju dengan kencang dan sangat kencang… tubuhku berontak menahan gerak mobil yang tiba-tiba menikung secara mendadak, kemudian menurun dan tiba-tiba berbelok menanjak, membuat isi perut ini mau keluar. Dari kota mati mobil terus melaju melewati tempat-tempat tak berpenghuni, tempat yang baru pertama aku lewati, tidak ada rumah satu pun hanya pepohonan yang membisu berdiri angkuh, melewati jalan yang berbatu, sempit dan gelap tanpa penerangan, sesekali mobil mengumpulkan tenaga dengan melaju terbata-bata melewati jalan yang terjal. “Ataghfirullahaladzim…” Aku beristighfar berkali-kali dalam hati dan hanya itu yang aku lakukan selama pejalanan.
02.35 pagi, mobil kami menurun tajam…. Dari kejauhan aku menyaksikan cahaya-cahaya kecil di lereng bukit… akhirnya kami sampai ke perkampungan, tapi perjalanan belum selesai. Masih butuh sekitar setengah jam lagi untuk menjangkau rumahku. Subahanallah, aku berucap dalam hati. “cepat sekali” pikirku. Hanya sekitar 3 jam untuk mencapai rumah, padahal biasanya memerlukan waktu sekitar 9 jam jika menggunakan angkutan umum yang biasanya aku naiki. Kronologisnya seperti ini, pertama naik 2 angkutan kota yang berbeda, kemudian naik bis besar, setelah perjalan sekitar 2 jam turun untuk ganti bis lagi kemudian turun lagi untuk ganti bis yang keduakalinya, kemudian naik 2 angkutan desa yang berbeda, dan harus turun untuk ganti bis lagi dua kali. Tidak berhenti sampai disitu, masih ditambah dengan jalan kaki melewati jalan yang berbatu atau kalau beruntung biasanya ada tumpangan mobil bak yang menawarkan social training dengan sesama makhluk hidup lain seperti ayam, sayuran, bahkan kambing.
02.55 pagi, tidak sampai 5 menit lagi aku akan melihat eyang putri, aku merasa sangat lega sekali… “nduk …” suara pakde memecah kebisuan. “Segala sesuatu sudah ditentukan sama yang di atas, Allah tidak akan menambah atau mengurangi umur manusia meski semenit, ya to nduk? apa pun yang terjadi, ikhlaskan semua pada Allah, karena semuanya akan kembali pada-Nya, ngerti nduk?! Ikhlaskan…” aku hanya mengangguk, suaraku tercekat. Aku merasa seperti sedang bermimpi, namun mimpi ini terlalu nyata. Aku semakin merasa dinginya malam, sangat dan sangat dingin, tubuhku seakan membeku, aku ingin mobil ini beerhenti, aku ingin waktu ini berhenti… aku tidak ingin pulang ke rumah sekarang, tidak … aku takut…..
***
Air mataku perlahan mengalir dari pelupuk mataku. ”Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittttttttttttttt…” mobil seketika berhenti 5 meter dari rumah eyang putri yang terletak persis disamping rumahku. “Ingat pesen pakde nduk, apa pun yang terjadi jangan kaget, ikhlaskan pada Allah” pakde mengulangi kata-katanya. “nggih…” jawabku lirih.
Aku membuka paksa pintu mobil. Angin malam benar-benar menghempas ke seluruh kujur tubuhku. Aku berlari menuju rumah, tiba-tiba “duggg”, seperti ada seseorang menghajarku, sesaat aku terpaku, samar-samar aku mendengar isak tangis itu lagi, 15 tahun yang lalu. Aku melihat pemandangan yang sama, bunga mawar dan melati bertaburan dipelataran rumah, dipan kayu dan ember-ember besar itu lagi…. dipan kayu dan ember-ember besar yang sama seperti yang aku lihat 15 tahun yang lalu, ketika aku mendengar suara tangisan yang pecah dari semua orang yang aku temui. Tangisan yang membuatku menangis, meski aku tidak tahu mengapa aku menangis, aku hanya mengikuti orang-orang sekeliling, yang terisak-isak mengelilingi eyang putri yang sedang tertidur pulas. Aku memberontak, aku tidak akan ke rumah eyang putri! Aku melangkahkan kakiku ke rumah. Pintu rumah terbuka, dan tak ada satu orang pun disana, dimana orang tuaku? aku terpaku memandangi pintu yang terletak 10 meter persis di depan rumahku. Aku mencoba memberanikan diri untuk melangkahkan kaki. Jantungku berdetak semakin kencang, dan sepi. Rumah eyang putri sepi. Perlahan aku memasuki ruangan belakang. “eyang putri???” suaraku lirih. Aku membuka kamar eyang putrid, dan “kosong? dimana orang-orang???”.
“Belum lihat eyang putri?” Tanya bu lek Rosida, yang muncul dari ruang depan dibalut mukena putih. Wajahnya nampak lelah dan matanya merah, sepertinya baru menangis semalaman. Aku hanya mengangguk dan mengikuti bu lek Rosi berjalan menuju ruang depan.
***
Saup-sayup aku mendengar lantunan ayat suci al qur’an. Tiba-tiba tubuhku kaku dan aku tidak mendengar lantunan ayat suci al qur’an lagi, yang aku dengar hanya tangisku yang pecah. Semua orang menenangkanku, menangis dan memelukku erat “ikhlskan, ikhlaskan ya…”

***
Aku mengenal wajah itu, ia mendekatiku, dengan membawa mukena dan mushaf ditanganya. Raut wajahnya tidak berubah, setelah hampir setengah tahun ini tidak berubah, matanya lembab, “ambil wudhu, shalat, dan baca al qur’an” ucapnya parau. Ibu …

Ahad, 7th of March 2010





.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar